Hallo guys! Ini memang pertama kalinya aku posting resensi novel yang sudah kubaca, tapi tentu bukan pertama kalinya aku bikin Resensi! Alasanku bikin tulisan ini karena aku kangen nulis anything except fiction, dan kebetulan.. minggu lalu baru selesai baca buku satu dari Tetralogi Darke Academy: Secret Lives.
Oke, sampai disitu saja basa- basinya!
Darke Academy book 1: Secret Lives
“You’ll be dying to join the chosen Few”
By: Gabriella Poole
Sebelum kita breakdown isi bukunya, aku mau kasih informasi general dari novel Gabriella Poole ini. Dari page count, publisher, ISBN, sampai Bahasa dan level bacaannya:
Selain hal- hal diatas, ada satu hal lagi yang perlu kalian ketahui:
Novel Gabriella Poole ini bergenre supranatural romance. Tapi jangan khawatir, jenis romance-nya tidak ada spice-nya, jadi aman untuk konsumsi remaja- remaja 12 tahun keatas.
Namun berdasarkan pengalaman pribadi-ku setelah membaca novel ini, menurutku genre misteri juga akan cocok untuk novel ini.
Karena sewaktu membaca tiap lembarnya, selalu muncul pertanyaan: “Ini pasti vampire, siapa lagi ya vampirenya?”—Padahal, kisah ini nggak ada sangkut pautnya dengan Vampire! Satu fakta yang mengagetkan buatku, karena baru kali ini salah tebak, hahaha.
Mulai dari sini, aku bakal kasih gambaran tentang isi novelnya. Jangan protes kalau kena spoiler, karena tujuan Resume memang buat merangkum & menganalisis!
Jadi, novel ini mengikuti kisah scholarships-girl yang baru masuk ke Darke Academy—sekolah elit yang siswa-siswinya terdiri dari anak- anak orang paling kaya di dunia.
Anyway, namanya Cassandra Bell, lebih senang dipanggil Cassie Bell. Darke Academy selalu mencari setidaknya satu orang dari latar belakang yang biasa-biasa saja untuk diberikan kesempatan masuk sekolah elite itu melalui program beasiswa.
Dari luar, memang terlihat seperti sedang melakukan kegiatan amal, tapi di pertengahan cerita, Cassy akhirnya mulai curiga dengan program beasiswa dari Darke Academy.
Sejujurnya, Cassy sudah mulai curiga dan menyadari keanehan- keanehan di sekolah elit itu sejak dia datang untuk pertama kalinya.
To be more detailed, aku bakal breakdown gagasan utama untuk merangkum plot yang berjalan di cerita ini. Nah, sampai disini bisa kalian skip kalau memang ada ketertarikan untuk membaca novel ini sendiri. Tapi kalau tidak tertarik, bisa lanjut baca.
[Aku berubah pikiran, lebih baik aku bikinkan post lain untuk RESUME novel ini]
Link-nya bisa diakses disini :
https://syahrulinurqotrunnada.blogspot.com/2023/07/resume-secret-lives.html
Analisis kita kali ini akan jauh- jauh dari structure Plotnya, karena demi apa, aku lelah merangkum isi novel lagi.
Tapi secara garis besar, menurutku Plot-nya agak kaku. Seolah- olah chapter satu sampai pertengahan, masih menunjukkan the beginning, masih pada exposition.
Missing part—beberapa detail yang tidak terlihat dari awal novel ini atau yang biasa kami sebut Element of Instability di Matkul Prose, sangat banyak.
Mungkin bisa berupa pertanyaan sederhana, seperti keterkaitan antara Prolog dan cerita utama, apakah gadis dalam prolog adalah karakter utama kita di masa depan? Atau mungkin pertanyaan yang lebih sensitive terkait dengan mood dan pembawaan Cassie yang tidak senang dengan sekolah barunya.
Padahal dia adalah penerima beasiswa, yang seharusnya wajar saja jika merasa bahagia bersekolah di Academy yang bagus.
Lalu atas dasar apa Cassie merasa sangat tegang dengan sekolah barunya? Pertanyaan- pertanyaan itu termasuk dalam Element of Instability, bertujuan membuat pembaca merasa penasaran dan terus melanjutkan untuk membaca—atau yang biasa kami namai: Suspense.
Lalu apa hubungannya dengan pernyataanku soal “Plot-nya agak kaku?”
Tentu sangat berhubungan.
Terlepas dari adanya structure of Plot (Eksposition, Conflict, Complication etc.) yang membuat cerita seolah- olah terpisah, tetap saja pada dasarnya novel adalah karya sastra yang utuh dan menyatu.
Transisi antara Exposition, Conflict, Complication dsb. sangat penting untuk mendukung kelogisan suatu cerita—atau yang biasa kami sebut Plausibility.
Jika bagian exposition terlalu panjang dan seperti tidak henti- hentinya mengeluarkan Element of Instability, pembaca akan merasakan jenuh, keseimbangan dalam cerita juga akan terpengaruh.
Nah, karena Element of Instability sudah banyak dan menumpuk—dalam kata lain, misteri- misterinya sudah banyak dan perlu dijawab, dalam novel ini tiba- tiba cerita sudah memasuki Complication saja.
Chapter- chapter awal yang monoton dan biasa dengan selingan misteri yang berhubungan dengan The Few tiba- tiba menjadi intense dengan Tindakan Cassie di kamar Alice dan Keiko.
Dari sini, aku sebagai pembaca merasa agak tertekan karena alur plot tiba- tiba dipercepat menuju Climax.
Dari kejar- kejaran dengan Keiko, hingga menyusun rencana untuk mengungkap kematian Jessica dengan Isabella dan Jake.
The way Gabriella Poole made their plan goes easy is unnatural.
Jadi, ada scene dimana Cassie, Isabella dan Jake menyusun rencana untuk mendekati Richard sebagai anggota the Few dan tepat setelah itu, Richard langsung menelpon Cassie untuk mengajaknya kencan. What a coincidence!
Surprize yang tersaji di Climax yaitu saat Cassie dirantai di ruang bawah tanah dan dipaksa melakukan ritual aneh juga terkesan sangat tiba- tiba.
Segala informasi yang mengalir keluar saat itu terlalu banyak dan berat untuk dicerna sekaligus.
Kalau aku belum mulai membaca buku ke-2, atau meresume ulang jalan ceritanya, mungkin sampai detik ini masih kurang connect dengan Plot Twist yang disajikan di bagian Climax.
Bahkan, ada beberapa hal yang masih membuatku bingung sampai detik ini. Jadi intinya, yang ingin kusampaikan mengenai Plot adalah: Plotnya kaku.
Jika dipersingkat, situasi Cassie mungkin akan seperti ini:
Sekolah, kencan, mengendap-endap, sekolah, flirting, mengendap- endap, ketahuan, sekolah, kencan, Boom! Diculik, terkena musibah.
Namun aku masih yakin bahwa perasaan “kaku” yang kumaksud bukan hanya berasal dari Plot yang rasa-rasanya flat dan kurang fresh.
Perasaan kaku itu juga dipengaruhi oleh karakterisasi tokoh utama.
Cassie Bell sebagai karakter utama dalam novel ini digambarkan sebagai gadis british yang pandai, penuh waspada, dan selalu mampu mengontrol diri.
Namun, sering kali Tindakan- Tindakan yang dia ambil sangat tidak mencerminkan sifat-sifat itu.
Alasan dia keluar malam dan mengendap- endap, alasannya begitu tertarik dengan The Few padahal grup tersebut seharusnya menjadi sesuatu yang dia hindari karena sebenarnya, dari luarpun sudah terlihat bahwa grup itu sangat aneh dan berpotensi mengacaukan hidupnya sebagai penerima beasiswa.
Seolah- olah, tindakan yang dia ambil—untuk keluar dari kamarnya pada malam hari, mengendap-endap, pergi ke kamar Keiko—semuanya bukan kemauannya secara pribadi.
Seolah- olah tiba-tiba dia adalah sebuah boneka yang harus berjalan ke panggung berbahaya yang sudah dibuat olah Author.
Hal ini memperlihatkan bahwa Cassie sebagai karakter utama sangat tidak bebas dan terlalu terlihat seperti boneka dalam menjalani tugas- tugasnya di Plot utama.
Selain Cassie Bell yang tampak kurang dinamis, karakter lain seperti Isabella dan Ranjit sangat tidak relevan jika dipikirkan sekali lagi.
Dalam novel, Isabella digambarkan sebagai gadis manja dari keluarga konglomerat Mexico dengan Bahasa Inggris yang kurang mumpuni.
Namun bukankah seharusnya, gadis kaya yang selalu mendapat priviledge otomatis akan langsung fasih karena didikan keluarganya sedari kecil?
Kemudian Ranjit.
Ranjit Singh berasal dari India, namun Bahasa Inggrisnya sangat fasih hingga tidak ada deskripsi tentang Ranjit yang meggunakan sedikit logat timur dalam novel ini.
Padahal, pada liburan semester, Ranjit dikabarkan kembali ke India.
Bukankah sedikit aneh untuk orang kaya yang pure dari India memiliki kecakapan Bahasa Inggris yang sangat fasih bahkan untuk native speaker seperti Cassie, tidak ada sedikit saja deskripsi logat yang cowok India ini tuturkan secara khas?
Jujur saja, dua hal ini adalah variable yang sangat mengganggu.
Sekarang kita sudahi analisis terhadap aspek-aspek formal/ intrinsic dalam novel itu.
Tidak ada hal yang kubenci mengenai Setting dan Point of View, malahan Gabriella Poole memiliki kemampuan mendeskripsikan setting dengan sangat bagus.
Secara keseluruhan, aku mungkin bisa sedikit menikmati novel ini, hanya untuk mengetahui “makhluk apa” sebenarnya The Few itu.
Asumsi pertamaku adalah Vampire, namun setelah membaca Plot Twist dan fakta- fakta yang diumbar seperti perang bola salju, aku sedikit mengerti bahwa apapun mereka itu, yang pasti bukan Vampire.
Seperti yang sudah kujelaskan di beberapa paragraph diatas, kekurangan novel ini ada pada Plot yang “kaku” dan tokoh utama yang kurang dinamis, dalam artian: kurang bebas.
Standar Relevancy dalam novel ini juga terbilang rendah. Sekali- lagi aku akan mengatakan bahwa Cassie tidak konsisten dengan sifatnya.
Bagaiman bisa gadis pintar dari dunia manusia tidak menyadari keanehan mengenai Darke Academy yang berpindah- pindah negri setiap satu semester juga eksistensi bunga- bunga hitam yang aneh—yang bahkan pakar bunga saja tidak tahu bunga itu eksis?
Mana ada sekolah yang selalu memiliki patung dan lukisan yang sama—basically, aula dan bangunan yang sama di setiap negri? That’s Weird. Kalo aku jadi Cassie, aku pasti merinding terus. Berasa ada di alam Ghoib, hahaha.
Hal positif yang ingin aku tambahkan mengenai novel ini adalah tentang eksistensi yang Fresh mengenai The Few.
Seandainya The Few adalah Vampire, aku mungkin udah muak banget dengan cerita ini.
Tapi, makhluk apapun The Few itu, Ide Gabriella Poole benar- benar Fresh.
See? Bahkan sampai sekarang aku kurang bisa menentukan makhluk apa mereka itu.
Selain itu, aku suka keberanian Gabriella Poole dalam membuat karakter- karakter Internasional. Dimana lagi aku bertemu Male lead di English Fictions yang berasal dari India? Nice and Fresh, hanya kurang eksekusi saja.
Aku kasih novel ini 3,4 dari 5.
Hei, novelnya nggak seburuk itu kok. Cuma siap- siap aja kebingungan dengan tindakan- tindakan Cassie hahaha.
Ok, ok! Terimakasih sudah membaca sampai sini, Goodbye!
Komentar
Posting Komentar